Sama seperti Rio de Janeiro, Sao Paulo memiliki dua airport yakni Congonhas yang kebanyakan melayani rute domestik dan Guarulhos yang kebanyakan melayani rute internasional. Kedua bandara ini jaraknya sekitar 36 km. Untuk memudahkan penumpangnya, masing-masing maskapai seperti LATAM dan GOL menyediakan bus gratis untuk perpindahan bandara.
Showing posts with label Transportation. Show all posts
Showing posts with label Transportation. Show all posts
Friday, March 26, 2021
Tuesday, March 23, 2021
Review: LATAM Brasil A319 Economy Class Rio de Janeiro-Santos Dumont to Sao Paulo-Congonhas
Berbeda dengan bandara Galeao yang merupakan pusat penerbangan internasional, bandara Santos Dumont hanya melayani rute-rute domestik. Kalau di Jakarta mungkin ibarat Soekarno-Hatta dan Halim Perdanakusumah.
Begitu sampai di bandara saya langsung menuju counter check-in untuk memasukkan bagasi ke pesawat. Penumpang kelas ekonomi LATAM mendapatkan bagasi sebesar 23kg. Berhubung tiket saya terdapat pergantian bandara ketika transit di Sao Paulo (dari Congonhas ke Guarulhos), bagasi saya hanya diantarkan sampai Congonhas. Saya harus mengambil bagasi tersebut dan melakukan check-in ulang di bandara Guarulhos. Namun boarding pass sampai Cusco udah bisa dicetak.
Tuesday, September 22, 2020
Batal ke Keukenhof dan Menuju Brussels dengan Thalys First Class
Ketika merencanakan liburan ini, kunjungan ke Keukenhof
merupakan salah satu agenda utama karena saya tiba di awal Mei yakni musimnya tulip bermekaran. Namun ketika
sudah memutuskan untuk melanjutkan ke Brazil dan Peru, saya menemukan bahwa
tiket pesawat lebih murah jika terbang dari Brussels, bukan Amsterdam. Supaya
bisa mengunjungi negara baru sekalian, akhirnya saya membatalkan rencana ke Keukenhof
untuk melihat tulip dan membeli tiket kereta Thalys menuju Brussels.
Walaupun sudah landing di Amsterdam, pesawat saya tidak kunjung
tiba di gate. Setelah beberapa tahun kemudian ketika baca blog Zilko saya tau kalau
sepertinya saya mendarat di landasan Polderbaan yang memang jauh sekali dari
terminal. Awalnya saya masih berminat untuk mencoba memaksakan ke Keukenhof,
namun karena pesawat butuh waktu lama untuk tiba di gate akhirnya rencana
tersebut benar-benar batal.
Ketika mendekati imigrasi, perasaan saya agak deg-degan
karena sebelumnya saya ditanya cukup detail: berapa hari di Belanda, nginep di
mana, dan diminta bukti reservasi hotel. Khawatir ditanya-tanya, kali ini saya
pilih petugas yang lebih muda dengan asumsi tidak banyak nanya. Ternyata saya
masih ditanya akan berapa lama di Amsterdam. Nggak mau menjelaskan lebih lanjut
kalau saya akan pergi ke Brussels dalam beberapa jam, saya bilang 1 malam di
Amsterdam. Kemudian dia menanyakan lagi akan ke mana setelah itu dan saya jawab
bahwa saya akan terbang ke Rio de Janeiro. Reaksi dia “wow, you’re going to
Rio. Enjoy partying there!” dan kemudian paspor saya dikembalikan sudah dengan
cap masuk Belanda. Hore!
Berhubung kereta menuju Brussels baru akan berangkat jam
18.30 sore sementara waktu itu masih jam 15.00, saya sempet bingung mau ke mana.
Sebenernya untuk ke kota cuma butuh 25-30 menit dengan kereta api, namun karena
saya bawa koper yang besar dan harus bayar lagi, saya memutuskan untuk di
bandara aja. Ternyata keputusan tersebut sangat tepat karena nggak lama
setelahnya perut saya kembali sakit dan saya kembali mengosongkan perut dalam
30 menit mendatang.
Friday, September 18, 2020
Review: Qatar Airways 777-300ER Economy Class Doha to Amsterdam
Penerbangan berikutnya dalam liburan kali ini adalah dari
Doha, Qatar menuju Amsterdam, Belanda. Saya transit di Doha selama 2 jam. Kali
ini transitnya tidak lama karena 2 penerbangan ini berada dalam 1 tiket,
sehingga jika pesawat sebelumnya terlambat atau delayed, pihak maskapai lah
yang akan bertanggungjawab untuk mengantarkan kamu ke tujuan akhir.
Pengalaman transit yang nggak lama biasanya saya mudah lupa.
Namun entah kenapa saya masih inget kejadian pagi itu. Setibanya di Doha saya langsung
sibuk cari toilet karena perut saya sudah tidak enak. Ketika ketemu langsung duduk
dan blasss keluar semua itu kayaknya makanan. Setelah lebih lega, saya berjalan
menuju gate untuk melanjutkan penerbangan ke Amsterdam.
Penerbangan dari Doha dan Amsterdam menggunakan pesawat Boeing
777-300ER. Pesawat yang saya naiki kala itu adalah pesawat yang kelas ekonominya
sudah dibuat lebih padat di mana konfigurasinya berubah dari 3-3-3 ke 3-4-3.
Selain itu kursinya juga menjadi lebih tipis.
Wednesday, September 9, 2020
Review: Qatar Airways A340-600 Economy Class Kuala Lumpur to Doha
Pertama kali terbang dengan A340-600!
Sebelum masuk ke gate, saya mengunjungi toilet dulu untuk
mengosongkan isi perut. Entah kenapa dulu suka takut sakit perut karena nahan pup
kalo terbang lama. Selain nggak nyaman ketika pup di pesawat, saya juga nggak enak sama
orang sebelah saya kalo harus mondar-mandir ke toilet berhubung saya sukanya duduk
di deket jendela. Setelah menunaikan hajat, saya masuk ke gate dan sudah
melihat pesawat A340-600!!
Boarding gate
Qatar Airways QR853
Kuala Lumpur (KUL) to Doha (DOH)
STD: 02.00
STA: 05.30
Airbus A340-600
Ini pertama kalinya saya naik flying pencil, julukan dari
A340-600 karena bentuknya yang panjang. Boarding tepat waktu jam 01.00 dan saya
excited banget! Pilih untuk duduk di kursi 16K yang posisinya di depan mesin
supaya bisa lihat mesinnya. Kereen!
Friday, June 26, 2020
Huru-Hara Refund Tiket Pesawat Karena COVID-19
Siapa sangka 2020 bakal jadi se-berwarna ini! Dimulai dari
banjir besar di Jakarta dan sekitarnya sampai kamar saya kerendem, dan sekarang
dunia sedang mengalami pandemi COVID-19. Karena travel restriction ada di
mana-mana, rencana liburan saya yang seharusnya di bulan April lalu dan Juli
mendatang harus ditunda. Ada 10 reservasi tiket pesawat dengan 9 maskapai yang
harus saya ubah atau bahkan batalkan. Berhubung lumayan beragam jenis tiketnya,
saya mau menceritakan pengalaman saya mengurus ini semua.
Saya akan mengurutkan dari yang paling mudah sampai yang bikin
istighfar dan memasuki masa “yaudahlah biarin, belom rejekinya”.
1. Japan Airlines Business Class
Metode: menggunakan miles Alaska Airlines Mileage Plan
Akhir Juli mendatang saya dan keluarga sudah berencana untuk
berangkat ke Jepang untuk menyaksikan Summer Olympics 2020. Sejak pada 2018 tau ada “trick”
stopover Japan Airlines yang membuat terbang ke Jepang dengan business
class-nya Japan Airlines lebih terjangkau (pulang pergi sekitar Rp 9 juta per
orang), saya pesen tiketnya dari September tahun lalu ketika reservasi untuk
tanggal yang saya inginkan dibuka. Maklum harus jauh hari soalnya beli tiket
untuk 3 orang.
Foto dari adek saya yang udah duluan coba JAL Business Class SkySuite III pas birthday trip dia tahun lalu
Ketika COVID-19 menjadi pandemi di bulan Maret, sejujurnya
saya masih berharap kondisinya membaik. Namun sampai awal Juni masih belum ada
tanda-tanda membaik bahkan Tokyo 2020 dibatalkan. Akhirnya hari Minggu lalu
saya iseng cek reservasi tiket pesawat saya dan ternyata sudah dibatalkan juga
penerbangannya. Langsung hubungi Alaska Airlines via Twitter (cepet banget
jawabnya, sumpah!) dan diarahkan untuk hubungi via online chat (keren!). Dalam 13 menit tiket saya sudah dibatalkan, dan selesai chat saya buka account dan
milesnya langsung masuk! Takjub banget beneran, malah jadi cari tiket-tiket
berikutnya karena punya miles berlebih #eh. Tax and fees-nya sendiri masuk hari
Rabu kemarin ke kartu kredit, sekitar 3 hari setelah saya minta refund. Salut dengan
Alaska Airlines!
Online chat with Alaska Mileage Plan
Status per 25 Juni: refund sudah kembali, baik miles maupun taxes
Tuesday, January 9, 2018
Terbang ke Amerika dan Eropa dengan Qatar Airways Mulai Rp5 Jutaan PP!
Quick Update 2: per 10 Januari jam 20.00 WIB sepertinya kode kupon udah nggak bisa menghasilkan diskon, malah harganya jadi naik s.d. 3x lipat! Semoga ini hanya sementara kayak kemarin sore… Aamiin.
Quick Update 1: nemu kombinasi rute yang lebih murah ternyata, jadi judul postnya ikut berubah :D Terima kasih buat Anonymous yang share rute seharga Rp5.3 juta.
Sama seperti tahun sebelumnya, Qatar Airways kembali menggelar promo tiket pesawat secara global, alias tersedia di semua rutenya.
Kalau lihat di halaman promonya, promo berlangsung mulai hari ini (9 Januari) hingga 16 Januari 2018. Periode terbangnya hingga 10 Desember 2018, dengan black-out date (harga promo tidak tersedia) 9 Juni - 10 September 2018.
Judul dari mereka sih "Diskon hingga 35%", tapi kalau saya bandingin di rute yang sama beberapa hari lalu masih sama aja harganya. Eh tapi ternyata ada triknya supaya dapet diskon s.d. Rp2 juta! Beberapa rute (well actually cuma 2 sih berhubung saya mesti ngantor haha) yang saya cek harganya dari Rp8.7 juta jadi Rp6.7 juta aja. Lumayan banget!
Sebelum lihat harga promonya, ada baikya cek tulisan saya yang ini untuk mengetahui cara memesan tiket multi-city di web Qatar Airways: Cara Pesan Multi-City (penjelasan ada di bagian bawah)
Berikut harga "normal". Jakarta - Amsterdam lalu pulang Copenhagen - Singapore Rp8.72 juta.
* * *
Quick Update 1: nemu kombinasi rute yang lebih murah ternyata, jadi judul postnya ikut berubah :D Terima kasih buat Anonymous yang share rute seharga Rp5.3 juta.
* * *
Kalau lihat di halaman promonya, promo berlangsung mulai hari ini (9 Januari) hingga 16 Januari 2018. Periode terbangnya hingga 10 Desember 2018, dengan black-out date (harga promo tidak tersedia) 9 Juni - 10 September 2018.
Judul dari mereka sih "Diskon hingga 35%", tapi kalau saya bandingin di rute yang sama beberapa hari lalu masih sama aja harganya. Eh tapi ternyata ada triknya supaya dapet diskon s.d. Rp2 juta! Beberapa rute (well actually cuma 2 sih berhubung saya mesti ngantor haha) yang saya cek harganya dari Rp8.7 juta jadi Rp6.7 juta aja. Lumayan banget!
Sebelum lihat harga promonya, ada baikya cek tulisan saya yang ini untuk mengetahui cara memesan tiket multi-city di web Qatar Airways: Cara Pesan Multi-City (penjelasan ada di bagian bawah)
Berikut harga "normal". Jakarta - Amsterdam lalu pulang Copenhagen - Singapore Rp8.72 juta.
Harga ada di kanan bawah (bisa klik untuk perbesar gambar)
Kalau ini Jakarta - New York lalu pulang Los Angeles - Singapore Rp8.67 juta. Well, lebih murah ke US ternyata.
Harga ada di kanan bawah (bisa klik untuk perbesar gambar)
Terus gimana biar dapet diskon s.d. Rp2 juta?
Wednesday, December 27, 2017
Birthday Trip 2017: New Airlines and Autumn in Japan
Setelah menyadari bahwa beberapa hari setelah saya berulang
tahun ada long weekend (lagi), saya menyusun rencana mau liburan ke mana.
Well, bukan liburan ke mana sih, tapi sama kayak tahun lalu, lebih ke liburan
dengan maskapai apa. Saya udah 2 – 3 tahun belakangan ini pengen banget naik
Cathay Pacific, terutama setelah sering baca One Mile at a Time yang suka banget dengan
First Class-nya. Walaupun saya nggak belum bisa naik First Class, tapi
tetep penasaran pengen coba. Udah gitu berhubung saya sebagai Sapphire
member-nya oneworld, naik Cathay Pacific dapet benefit tambahan seperti lounge
access (paling penting) dan benefit kecil lain kayak pilih kursi walaupun beli
tiket ekonomi termurah, additional baggage (yang gak pernah kepake), priority
lounge, priority check-in line, dan priority baggage handling.
Begitu tekad sudah bulat untuk naik Cathay Pacific, tahap
berikutnya adalah menentukan tujuan. Dengan harga tiket Rp3 juta PP, kalo ke
Hong Kong aja kayaknya kurang puas berhubung jadinya cuma 2x naik Cathay-nya. Udah
gitu harganya nggak beda jauh kalo hanya menjadikan Hong Kong sebagai transit
point sebelum ke negara di Asia Timur kayak Taiwan (Rp4 juta), China (Rp4.8
juta), Korea (Rp5 juta), dan Jepang (Rp5 juta). Keempat negaranya udah pernah
saya kunjungin sebelumnya, jadi sama aja sebenernya semuanya.
Korea langsung saya coret berhubung pengurusan visanya yang
super rumit (NPWP, SPT – ugh!). China..
yah masa China lagi padahal ulang tahun sebelumnya baru aja dari Beijing dan
harus keluar uang buat bikin visa. Taiwan udah nggak perlu bikin visa berhubung
punya visa Schengen yang multiple dan masih aktif, tapi terlalu deket dari Hong
Kong. Yang paling make sense berarti cuma Jepang: udah jaraknya paling jauh
dari Hong Kong, saya juga bisa apply visa waiver karena punya paspor
elektronik. Untuk menentukan kota tujuan di Jepang, saya langsung pilih yang
agak di utara: Tokyo atau Sapporo. Fukuoka, Osaka, dan Nagoya dicoret karena
lebih di selatan posisinya. Sebenernya pengen banget ke Sapporo berhubung belum
pernah, tapi dengan memilih Tokyo saya bisa naik Japan Airlines dengan di rute
Tokyo – Hong Kong. No brainer sih, another oneworld carrier yang pengen saya
cobain. Tokyo it is!
Oh ya, berhubung birthday trip ini lagi-lagi fokus ke dunia
aviasi dibanding tujuannya, saya pilih yang waktu transit di Hong Kong-nya se
lama mungkin pas berangkat. Walaupun saya bisa transit kurang dari 2 jam, saya
pilih yang transit 9 jam! Durasi transitnya lebih lama dari flight Jakarta –
Hong Kong yang 4.5 jam ditambah Hong Kong – Tokyo yang 3.5 jam :)) Kenapa
bela-belain transit lama? Karena Hong Kong International Airport ini salah satu
major hub-nya Cathay Pacific dan oneworld, jadi banyak lounge kece yang bisa
saya datengin sebagai oneworld Sapphire member. Biar nggak penasaran gitu
nanti-nantinya :D
Sunday, August 14, 2016
Lika-Liku Menuju Machu Picchu
Machu Picchu bukanlah tempat wisata impian saya.
Terletak di Peru yang jauh sekali dari Indonesia sehingga menyebabkan tiket ke sana pasti sangat mahal membuat saya nggak kepengen banget ke sana. Oleh karena itu saya memasukkan 7 keajaiban dunia (entah versi siapa) yang tanpa Machu Picchu ke salah satu bucket list saya karena lebih achievable. Saya sudah sangat senang ketika bisa mengunjungi Taj Mahal sebagai tempat terakhir dari 7 objek wisata di awal tahun 2015 lalu.
Beberapa bulan setelah kerja dan menyadari tabungan saya cukup untuk diperas, saya kepikiran untuk ke Amerika Selatan. Tujuan utama saya Brazil, bahkan awalnya nggak kepikiran untuk include Peru. Tapi setelah ribet dan pusing sendiri, saya memutuskan untuk mengurangi waktu liburan saya di Brazil supaya bisa sekalian ke Peru demi Machu Pichhu. Thank God I did that!
Di tulisan kali ini saya belum akan menceritakan sejarah Machu Picchu dan bagaimana di dalamnya karenasaya nggak tau banyak juga berhubung di sana mondar-mandir aja untuk menceritakan tempat istimewa tersebut butuh 1 pos tersendiri. Yaiyalah, kaki saya sampe gempor di sana masa cuma jadi 2 paragraf doang! Instead, di post kali ini saya akan ceritain "perjuangan" untuk ke Machu Picchu. Jangan dipikir ke Machu Picchu itu kayak ke Eiffel Tower yang ucuk-ucuk keluar stasiun Metro di Paris langsung keliatan ya. Perjalanan panjang kalian terbang puluhan jam dari Indonesia ke Lima yang merupakan salah satu pintu masuk utama Peru masih harus ditambah beberapa belas jam lagi sebelum akhirnya bisa menginjakkan kaki di Machu Picchu.
Terletak di Peru yang jauh sekali dari Indonesia sehingga menyebabkan tiket ke sana pasti sangat mahal membuat saya nggak kepengen banget ke sana. Oleh karena itu saya memasukkan 7 keajaiban dunia (entah versi siapa) yang tanpa Machu Picchu ke salah satu bucket list saya karena lebih achievable. Saya sudah sangat senang ketika bisa mengunjungi Taj Mahal sebagai tempat terakhir dari 7 objek wisata di awal tahun 2015 lalu.
Beberapa bulan setelah kerja dan menyadari tabungan saya cukup untuk diperas, saya kepikiran untuk ke Amerika Selatan. Tujuan utama saya Brazil, bahkan awalnya nggak kepikiran untuk include Peru. Tapi setelah ribet dan pusing sendiri, saya memutuskan untuk mengurangi waktu liburan saya di Brazil supaya bisa sekalian ke Peru demi Machu Pichhu. Thank God I did that!
Di tulisan kali ini saya belum akan menceritakan sejarah Machu Picchu dan bagaimana di dalamnya karena
Pemandangan dari dalam PeruRail menuju Aguas Calientes
Tuesday, September 1, 2015
Menuju Berlin dengan Kereta ICE dan City Night Line
Setelah menghabiskan waktu sambil selonjoran di waiting room Amsterdam Centraal, ternyata waktu sudah mendekati pukul 18.15. Saya langsung masuk ke kereta ICE 227 yang akan mengantarkan saya ke Oberhausen untuk transit sebelum melanjutkan perjalanan dengan kereta City Night Line (CNL) menuju tujuan akhir saya: Berlin. Amsterdam Centraal yang buanyak banget jalurnya bikin penumpang harus mastiin kereta yang mau dinaikin ada di jalur mana supaya nggak salah naik. Setelah saya yakin udah ada di track yang bener, saya naik kereta tersebut.
Sebagai penggemar kereta cepat (selain pesawat), saya seneng banget bisa nyobain ICE ini. ICE atau Intercity Express adalah salah satu jenis kereta cepat yang ada di Eropa. Selain ICE, masih ada banyak jenis kereta cepat di Eropa kayak Eurostar, Thalys, Renfe, dan sebagainya. Lumayan banget lah bisa nambahin log book kereta cepat saya setelah sebelumnya nyobain KTX di Korea, THSR di Taiwan, Maglev di China, dan Shinkansen di Jepang. ICE sendiri ada beberapa tipe, kayak ICE1, ICE2, dan ICE3. Bedanya itu ICE1 dan ICE2 kecepatan maksimalnya 175 miles/jam, sementara ICE3 itu 186 mile/jam. Saya kemaren dapetnya yang ICE3.
Seperti yang udah saya bilang sebelumnya, untuk perjalanan dengan ICE kali ini saya nggak pesen kursi karena mikirnya pasti dapet tempat duduk. Tapi ternyata saya salah dan kalo keretanya penuh, saya harus berdiri. Cuma kalo baca cerita orang di internet, cara buat duduk dengan tenang tanpa takut digusur adalah dengan liat layar kecil yang ada di atas masing-masing kursi. Layar kecil itu bakal nunjukin kursi itu ada yang pesen atau nggak. Selain itu dikasih tau juga orang di kursi itu bakal naik dan turun di stasiun mana. Kalo nggak ada tulisannya, berarti kursi itu nggak ada yang mesen. Canggih banget gak sih?! *kampungan* Jadi begitu saya masuk salah satu gerbong, saya langsung sigap nyari layar yang kosong dan duduk di kursi tersebut. Untungnya waktu itu rada banyak kursi kosong, jadi saya bisa duduk selama 2 jam dari Amsterdam ke Oberhausen. Hore!
ICE 227 dengan rute Amsterdam Centraal – Frankfurt Hauptbahnhof
Sebagai penggemar kereta cepat (selain pesawat), saya seneng banget bisa nyobain ICE ini. ICE atau Intercity Express adalah salah satu jenis kereta cepat yang ada di Eropa. Selain ICE, masih ada banyak jenis kereta cepat di Eropa kayak Eurostar, Thalys, Renfe, dan sebagainya. Lumayan banget lah bisa nambahin log book kereta cepat saya setelah sebelumnya nyobain KTX di Korea, THSR di Taiwan, Maglev di China, dan Shinkansen di Jepang. ICE sendiri ada beberapa tipe, kayak ICE1, ICE2, dan ICE3. Bedanya itu ICE1 dan ICE2 kecepatan maksimalnya 175 miles/jam, sementara ICE3 itu 186 mile/jam. Saya kemaren dapetnya yang ICE3.
Seperti yang udah saya bilang sebelumnya, untuk perjalanan dengan ICE kali ini saya nggak pesen kursi karena mikirnya pasti dapet tempat duduk. Tapi ternyata saya salah dan kalo keretanya penuh, saya harus berdiri. Cuma kalo baca cerita orang di internet, cara buat duduk dengan tenang tanpa takut digusur adalah dengan liat layar kecil yang ada di atas masing-masing kursi. Layar kecil itu bakal nunjukin kursi itu ada yang pesen atau nggak. Selain itu dikasih tau juga orang di kursi itu bakal naik dan turun di stasiun mana. Kalo nggak ada tulisannya, berarti kursi itu nggak ada yang mesen. Canggih banget gak sih?! *kampungan* Jadi begitu saya masuk salah satu gerbong, saya langsung sigap nyari layar yang kosong dan duduk di kursi tersebut. Untungnya waktu itu rada banyak kursi kosong, jadi saya bisa duduk selama 2 jam dari Amsterdam ke Oberhausen. Hore!
Layar kecil di atas kursi ICE (credit to owner [Steven])
Thursday, July 30, 2015
Panduan Beli Tiket Kereta Antarkota di Eropa
Duilee berat bener judulnya "panduan", udah kayak manual book aja. Tapi yaudah ya.
Kalo kalian mendapatkan visa Schengen, kalian bisa dateng ke negara-negara anggota Schengen (kecuali United Kingdom) dan Swiss yang totalnya kurang lebih berjumlah 26 negara. Nah, mayoritas dari negara-negara itu terletak berdekatan satu sama lain. Jadi rasanya kalo ke Eropa itu pengennya muterin ke semua negara tersebut. Tapi berhubung keterbatasan waktu dan — tentu saja — uang, maka saya pilih beberapa negara yang saya mau aja.
Untuk berpindah dari satu kota ke kota lainnya atau dari satu negara ke negara lainnya di Eropa, ada banyak pilihan transportasinya. Ada pesawat, kereta api, bis, ferry, atau numpang mobil orang. Nah karena udah ada beberapa orang yang nanya, sekarang saya mau jelasin yang perjalanan dengan kereta api. Spesifiknya adalah cara beli tiket kereta api antarkota atau antarnegara di Eropa secara online. Baik kan sayaa? *pamrih*
Pertanyaan yang paling sering saya dapet tentang pertiketan kereta di Eropa ini adalah: Lewat website mana saya bisa pesen tiketnya?
Kalo kalian mendapatkan visa Schengen, kalian bisa dateng ke negara-negara anggota Schengen (kecuali United Kingdom) dan Swiss yang totalnya kurang lebih berjumlah 26 negara. Nah, mayoritas dari negara-negara itu terletak berdekatan satu sama lain. Jadi rasanya kalo ke Eropa itu pengennya muterin ke semua negara tersebut. Tapi berhubung keterbatasan waktu dan — tentu saja — uang, maka saya pilih beberapa negara yang saya mau aja.
Untuk berpindah dari satu kota ke kota lainnya atau dari satu negara ke negara lainnya di Eropa, ada banyak pilihan transportasinya. Ada pesawat, kereta api, bis, ferry, atau numpang mobil orang. Nah karena udah ada beberapa orang yang nanya, sekarang saya mau jelasin yang perjalanan dengan kereta api. Spesifiknya adalah cara beli tiket kereta api antarkota atau antarnegara di Eropa secara online. Baik kan sayaa? *pamrih*
Sunday, March 29, 2015
Surviving Delhi Metro
"Untung ya ada Metro di Delhi, bisa nyaman dan murah keliling kota" - said no one ever.
Menurut saya, maju atau tidaknya suatu kota dilihat dari ada atau tidaknya metro, subway, atau yang sejenisnya. Emang agak dangkal, tapi saya selalu merasa senang dan terbantu setiap datang ke kota yang punya subway atau metro.
Berdasarkan pengalaman saya sebelumnya, subway dan metro itu merupakan transportasi yang paling reliable dari segala aspek. Cepat, memiliki jadwal teratur, nyaman, menjangkau objek-objek wisata, dan yang paling penting: murah. Sebagai orang yang sering jalan-jalan sendiri, saya paling anti sama yang namanya taksi karena ongkosnya nggak bisa dibagi-bagi. Untuk bis, kalau nggak kepepet banget ya nggak naik. Intinya selama masih bisa naik subway atau metro, saya pasti milih itu.
Walaupun India sering dihubungkan dengan hal-hal yang kotor, tapi infrastruktur mereka dalam hal transportasi massal sudah lebih maju dibanding Indonesia. Sekarang ini, sudah banyak kota di India yang sudah terkoneksi dengan beberapa jalur metro, salah satunya Delhi. Delhi sendiri punya 5 jalur metro yang masing-masing jalurnya mencakup jarak antara 20 hingga 50 km.
New Delhi Metro Station
Menurut saya, maju atau tidaknya suatu kota dilihat dari ada atau tidaknya metro, subway, atau yang sejenisnya. Emang agak dangkal, tapi saya selalu merasa senang dan terbantu setiap datang ke kota yang punya subway atau metro.
Berdasarkan pengalaman saya sebelumnya, subway dan metro itu merupakan transportasi yang paling reliable dari segala aspek. Cepat, memiliki jadwal teratur, nyaman, menjangkau objek-objek wisata, dan yang paling penting: murah. Sebagai orang yang sering jalan-jalan sendiri, saya paling anti sama yang namanya taksi karena ongkosnya nggak bisa dibagi-bagi. Untuk bis, kalau nggak kepepet banget ya nggak naik. Intinya selama masih bisa naik subway atau metro, saya pasti milih itu.
Walaupun India sering dihubungkan dengan hal-hal yang kotor, tapi infrastruktur mereka dalam hal transportasi massal sudah lebih maju dibanding Indonesia. Sekarang ini, sudah banyak kota di India yang sudah terkoneksi dengan beberapa jalur metro, salah satunya Delhi. Delhi sendiri punya 5 jalur metro yang masing-masing jalurnya mencakup jarak antara 20 hingga 50 km.
Delhi Metro Rail Network Map (source)
Subscribe to:
Posts (Atom)