Sekitar pukul 12 siang, akhirnya saya tiba di depan loket pembelian tiket masuk Pyramid. Nggak kerasa saya menghabiskan hampir 3 jam untuk perjalanan dari hostel di pusat kota Cairo menuju Pyramid yang terletak di Giza. Pada kondisi normal, perjalanan tersebut seharusnya menghabiskan waktu tidak lebih dari 1 jam. Something went wrong. Setelah membayar 80 EGP (Egyptian Pounds, sekitar Rp 150.000) untuk tiket masuk ke Pyramid, saya berjalan menuju ruang pemeriksaan barang bawaan.
Di sana saya diminta meletakkan tas di mesin x-ray. Berbeda dengan pemeriksaan di bandara, disini tidak begitu ketat karena pengunjung tidak perlu mengeluarkan handphone dan dompet. Setelah meletakkan tas, saya bergerak melewati pemindai. Karena ada handphone, dompet, dan belt, tentu saja pemindai tersebut berbunyi dan saya diminta merentangkan tangan untuk pemeriksaan tubuh.
Seperti biasa, petugas memegang kantong depan dan belakang karena pada umumnya disitulah tempat orang-orang mengantongi handphone dan dompet. Namun saat itu dia meminta saya mengeluarkan benda yang berada di kantong depan sebelah kiri jaket saya. Saya meraba ada apa disitu, karena jujur saya juga lupa.
Sambil saya mengambil tas dan bergegas keluar ruangan, petugas tersebut berbicara dalam bahasa Arab ke petugas yang lain. Tidak lama kemudian mereka berdua tertawa. Kalau boleh menebak, mungkin yang petugas tersebut katakan ke temannya adalah, "Ngapain ini bocah bawa jeruk ke sini?!".
Bener juga. Ngapain ya saya bawa jeruk ke Pyramid?
Pukul 09.00 saya selesai memakan sarapan berupa empat buah roti dengan mentega dan selai strawberry, sebuah telur rebus, dan teh susu hangat yang disediakan oleh Meramees Hostel secara cuma-cuma, saya pergi meninggalkan hostel untuk melaksanakan tujuan utama saya datang ke Mesir: melihat Pyramid di Giza.
Untuk mencapai Pyramid dari downtown Cairo, ada beberapa cara yang dapat dilakukan. Cara termudah namun paling mahal adalah menggunakan taksi atau mobil yang ditawarkan oleh penginapan. Saat saya berkata ke Muhammad (nama penjaga hostel) bahwa saya ingin ke Pyramid, dia menawarkan jasa dengan mobil. Begitu mendengar harganya yang sebesar 120 EGP (sekitar Rp 220.000) untuk pergi-pulang, saya menolak dengan halus. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil pencarian saya sebelumnya, untuk mencapai Pyramid dapat menggunakan bis umum AC yang sekali jalan harganya hanya 2 EGP (~ Rp 3.600).
Untuk naik bis tersebut, saya harus menuju terminal yang berada di bawah jembatan besar di belakang Egyptian Museum. Saya berjalan kaki selama 15 menit menuju terminal tersebut sambil menggunakan winter coat dan sesekali menunduk sambil menyipitkan mata karena banyaknya debu yang berterbangan. Memang saya datang saat Cairo mengalami musim dingin, namun menurut petugas hostel hari itu terjadi anomali karena tidak biasanya Cairo sedingin ini dan debu banyak berterbangan.
Sesampainya di terminal, saya mencari-cari bis yang bernomor 355 atau 357 karena kedua bis itulah yang dapat digunakan untuk mencapai Pyramid berdasarkan blog berikut. Sayangnya saat itu tidak ada bis 355 atau 357 yang sedang menunggu penumpang. Kemudian saya duduk menunggu di salah satu kursi di terminal yang terbuka tersebut.
Sudah 15 menit saya menunggu, namun bis tersebut tidak kunjung datang. Sambil menunggu, saya mengingat-ingat isi blog yang saya baca tersebut dan disana tertulis pilihan lain untuk menuju Pyramid adalah dengan menggunakan microbus dari terminal yang sama. Microbus di Cairo kurang lebih sama seperti angkot di Indonesia. Bedanya di Cairo mobilnya seperti VW Combi dan kursinya semua menghadap ke depan, bukan saling berhadapan antarpenumpang seperti di Indonesia. Begitu saya mencoba mendatangi tempat parkir microbus, saya langsung mengurungkan niat karena tidak ada satupun microbus yang mencantumkan rute. Melihat perawakan semua supirnya yang serius dan terkesan galak, saya takut bertanya dan akhirnya memutuskan untuk kembali duduk menunggu bis 355 atau 357.
Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul 09.45 dan bis tidak kunjung datang. Saya mulai cemas dan memberanikan diri untuk mencari orang yang terlihat ramah agar bisa bertanya. Nihil. Orang-orang yang saya lihat mukanya sangat serius sehingga terkesan dingin dan galak. Namun saya yang sudah tidak sabar ini akhirnya memberanikan diri bertanya ke seorang Bapak yang sudah cukup berumur. "Excuse me, do you know which bus to Pyramid, The Haram?" tanya saya sambil membentuk segitiga dengan kedua tangan. Dari blog tersebut juga saya tau bahwa warga lokal tidak semuanya mengerti Pyramid. Mereka biasa menyebut Pyramid dengan istilah Haram.
Seperti gayung bersambut, Bapak tersebut mengerti pertanyaan saya dan mempersilahkan saya duduk di sebelah kanannya karena dia juga akan menuju Pyramid. Karena sadar sulit berkomunikasi, kami berdua duduk diam sambil menunggu bis datang. Tidak lama setelah duduk, ada Bapak lain yang datang menghampiri saya. Sepertinya umur Beliau sedikit lebih muda dari Bapak sebelumnya. Beliau duduk di sebelah kanan saya dan kemudian memulai pembicaraan. (Karena keterbatasan ingatan dan lemahnya bahasa Inggris Untuk memudahkan penulisan, percakapan dituliskan dalam bahasa Indonesia).
Mendengar Bapak itu, saya sangat senang karena dibantu oleh penduduk lokal. Dengan demikian saya berharap bisa sampai di Pyramid secepatnya tanpa nyasar karena akan dipandu oleh Bapak itu. Kemudian kami berdua mulai mengobrol berbasa-basi sambil menunggu bis 355 atau 357. Karena sibuk ngobrol, saya melihat Bapak yang pertama saya tanya sudah berpindah kursi dan agak menjauh. Namun saya membiarkannya, mungkin dia merasa bahwa saya sudah mendapat teman ngobrol dan memutuskan untuk menjauh daripada pusing mendengarkan kami mengobrol.
Setelah berbasa-basi, dia kemudian mengenalkan dirinya sebagai Mr. Abdalah. Berdasarkan ceritanya, dia bekerja sebagai security di Stasiun Ramses. Dia menjelaskan bahwa dia baru menyelesaikan shift kerjanya, sehingga akan pulang ke daerah Giza untuk beristirahat. Setelah itu dia mulai menjelaskan tentang seluk-beluk serta tips untuk mengunjungi Pyramid.
Dia meminta kertas untuk memberikan penjelasan kepada saya mengenai banyak hal yang berhubungan deh Pyramid. Hal pertama yang dia tuliskan adalah nomor bis yang dapat digunakan untuk menuju Pyramid dan untuk kembali ke downtown Cairo. Selanjutnya dia menjelaskan tentang cara mengunjungi Pyramid.
Berdasarkan penjelasan awalnya, terdapat dua cara untuk mengunjungi Pyramid. Cara pertama adalah "tourist way", dimana pengunjung akan mengelilingi kompleks Pyramid yang terdapat 9 piramida yang jarak totalnya 16 km dengan berjalan kaki. Selain itu pengunjung juga akan diminta untuk membayar berkali-kali untuk melihat masing-masing Pyramid. Cara "tourist way" ini dapat menghabiskan uang 800 hingga 900 EGP. Penjelasannya masuk akal, karena berdasarkan pencarian saya sebelumnya, harga tiket masuk area Pyramid adalah 80 EGP. Sementara itu, untuk masuk ke Khufu Pyramid yang merupakan piramida terbesar disana harus menambah 200 EGP. Saya sendiri tidak melakukan riset mendalam untuk mencari tahu apakah ada biaya lagi untuk masuk ke piramida lainnya. Dan jalan kaki sejauh 16 kilometer nampaknya akan sangat melelahkan.
Cara kedua yang mana sangat dianjurkan oleh Abdalah adalah "Egyptian way". Dengan "Egyptian way", pengunjung dapat berkeliling di area Pyramid menggunakan kuda atau unta dan tidak perlu membayar banyak hal tambahan. What a bargain! Ketika saya tanya berapa biaya yang dibutuhkan, Abdalah berkata, "It's cheaper than tourist way".
Udara Cairo yang dingin ditambah angin yang berhembus kencang membawa debu membuat Abdalah dan saya kedinginan. Tiba-tiba Abdalah berdiri dan bergegas menuju sebuah bis yang sedang menunggu penumpang. "Follow me, we'll take this bus!". Saya yang tidak tahu apa-apa cuma bisa mengikutinya saja dengan pasrah. Yang pasti, bis yang saya naiki bukan bis 355 ataupun 357. Bis ini tidak ber-AC dan cukup kotor. "Udara di luar dingin, jadi kita naik bis ini dulu aja untuk menghangatkan badan. Kamu tenang saja, saya juga pulang ke arah Giza. Jadi kita searah," begitu penjelasan Abdalah kepada saya yang cukup menenangkan.
Tidak lama menunggu, bis kemudian berjalan dengan hanya kami sebagai penumpang. Ketika kondektur menghampiri untuk meminta bayaran, saya bertanya berapa harganya. Namun Abdalah berkata bahwa dia akan membayarkan ongkos kami berdua. "Biar saya yang bayarkan kamu. Sekarang kamu sedang di Mesir, jadi biar kamu merasakan kebaikan warga sini. Nanti kalau saya main ke Jakarta, kamu yang gantian bayarin saya." Begitu kata Abdalah. Lumayan bagi saya karena tidak perlu mengeluarkan 1 EGP untuk bayar bis.
Bis berjalan melewati jembatan yang berada di atas sungai Nil. Seperti biasa, saya mengeluarkan iPhone untuk memotret sungai Nil. Begitu Abdalah melihat saya memotret, dia kembali mengajak berbincang.
Di perjalanan, kami berbincang mengenai banyak hal. Mulai dari negara masing-masing, pekerjaan, Pyramid, ibadah haji dan umroh (yang mana Abdalah mengatakan sudah melaksanakan ibadah haji sebanyak 3 kali), bahkan tentang keluarga. Abdalah mengeluarkan beberapa foto dari dompetnya untuk menujukkan foto anak-anak dan istrinya. Abdalah memiliki 6 orang anak yang semuanya perempuan.
Abdalah kembali berkata bahwa yang dia lakukan—menemani saya hingga Pyramid—adalah upaya untuk menunjukkan keramahan warga Mesir. Karena itu, Beliau mengatakan akan menjamu saya makan siang setelah saya berkeliling Pyramid. "Setibanya kamu di Pyramid, teman saya akan membawa kamu berkeliling Pyramid dengan 'Egyptian way'. Selesai berkeliling, saya akan menunggu kamu di gerbang dan kemudian saya akan menjamu kamu dengan makanan lokal Mesir di restoran terdekat," begitu katanya. Di satu sisi saya sangat senang karena akan mendapatkan makan siang gratis. Namun batin dan akal saya menolak apabila seseorang yang asing berlaku begitu baiknya. Yang ada di dalam pikiran saya waktu itu adalah saya akan melakukan "Egyptian way", lalu setelah selesai saya akan bergegas keluar dari gerbang lain yang berbeda dengan gerbang saat masuk dan berharap tidak ada Abdalah disana.
Ajakan Abdalah tersebut tentu membuat saya sedikit was-was dengannya. Setelah naik bis, kami turun di sebuah daerah dan Abdalah kembali memerintakan saya untuk berjalan di dekatnya. Ternyata kami mengganti kendaraan menjadi minibus—kalau di Indonesia seperti Kopaja atau Metro Mini. Saya sama sekali tidak tahu posisi saya saat itu. Ditambah saya tidak berani mengeluarkan handphone lagi karena Abdalah sempat menanyakan handphone saya.
Dua hal tersebut cukup membuat saya gusar hingga akhirnya saya memutuskan untuk diam-diam mengeluarkan uang dari dompet dan menyelipkannya di jaket. Saat kami masuk ke minibus, Abdalah menyuruh saya untuk duduk terlebih dahulu sementara dia kembali membayarkan ongkos minibus. Alhamdulillah saya tidak perlu mengeluarkan uang lagi. Di saat dia membayar uang di depan, saya duduk di pojok barisan paling belakang. Dengan cepat saya mengeluarkan 300 EGP dari dompet dan meletakkannya di dalam kantong jaket, sehingga sekarang uang saya di dompet tinggal sekitar 100 EGP. Kemudian Abdalah datang ke barisan belakang dan duduk di samping saya. Kami kembali mengobrol. Topiknya kurang lebih sama dengan yang sebelumnya.
Abdalah kembali mengajak saya turun untuk mengganti dengan kendaraan lain. Kali ini kami naik microbus. Kami kembali berbincang dan sekarang giliran saya bercerita. Saya mengatakan pada Abdalah bahwa saya jarang mendapatkan teman atau berbicara dengan warga lokal saat jalan-jalan. Sehingga saya senang bisa banyak berbicara dengan Abdalah. Abdalah kembali berkata bahwa dia hanya menunjukkan keramahan warga Mesir. Apabila di waktu mendatang dia datang ke Indonesia, dia berharap saya dapat menemaninya berkeliling.
Di saat saya bercerita, tiba-tiba saya berhenti dan terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata, "Wow, it's Pyramid!" Untuk pertama kalinya saya melihat Pyramid secara langsung dengan mata sendiri! Pyramid yang saya lihat berukuran raksasa!
Namun Abdalah kembali mengajak saya turun dan berganti microbus. Menurut penjelasannya, kami akan turun di gerbang Pyramid terdekat untuk berkeliling dengan "Egyptian way". Microbus melaju, dan di sebuah belokan Abdalah berkata, "Ini gerbang masuk turis-turis pada umumnya. Kalau masuk lewat sini, kamu harus siap bayar mahal!" katanya sambil menunjuk ke suatu tempat. Saya kembali menanyakan biaya yang dibutuhkan untuk "Egyptian way". Abdalah tetap tidak menyebutkan harga yang pasti.
Tibalah kami di sebuah daerah dimana Pyramid yang berukuran raksasa tidak lagi terlihat. Rasa panik mulai tumbuh di dalam diri saya. Namun tidak banyak yang bisa saya lakukan karena saya sama sekali tidak tahu sedang berada dimana. Apabila saya harus melarikan diri dari Abdalah, saya tidak tahu harus berlari kemana. Sehingga saya memutuskan untuk tetap bersamanya dan berharap Abdalah tidak memiliki niat jahat.
Kami berjalan masuk ke daerah pemukiman. Di tengah jalan terjadi badai pasir yang cukup besar sehingga kami berdua sama sekali tidak bisa melihat jalan di depan. Kami berpapasan dengan sebuah mobil, lalu Abdalah berbicara dengan pengendaranya. Abdalah kemudian menjelaskan bahwa gerbang masuknya sedang ditutup karena badai pasir. Sehingga kami harus berjalan mencari jalan lain.
Di perjalanan, terdapat mobil pick-up yang menjual jeruk segar yang baru dipetik. Abdalah mengambil dua jeruk dan membayarnya. Dia membuka satu jeruk untuk dirinya sendiri, sementara jeruk lainnya diberikan kepada saya. Saya menyimpan jeruk tersebut di kantong depan sebelah kiri jaket saya. Kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Tidak lama kemudian kami kembali masuk ke kawasan pemukiman dan sebelum akhirnya kami berbelok ke kiri dan sampai di jalan buntu. Pada saat itu saya yakin sesuatu yang buruk akan terjadi kepada saya.
Di sisi kiri jalan tersebut ada sebuah mobil yang di dalamnya terdapat seorang pria di kursi pengemudi. Sementara itu di sisi kanan jalan tidak jauh dari mobil terdapat kursi panjang dimana ada dua orang pria yang sedang duduk disana. Kemudian di seberang kursi tersebut ada pintu yang terbuka dan di sisinya ada plang bertulisan KH dengan gambar piramida dan unta. Abdalah memanggil sesorang dan kemudian muncul seorang pria yang sepertinya umurnya tidak jauh beda dengan Abdalah.
Perasaan panik saya semakin menjadi-jadi ketika saya dipersilahkan untuk masuk ke sebuah ruangan. Suka menonton TV series semacam Homeland semakin membuat saya berfikir yang aneh-aneh mengenai apa yang dapat terjadi kepada saya. Saya tidak perlu melepaskan sepatu saat masuk ke ruangan yang cenderung sempit, pengap, dan gelap tersebut. Kemudian saya dipersilakan duduk di kursi kayu. Di dalam ruangan hanya ada kami bertiga: saya, Abdalah, dan pemilik ruangan tersebut yang kemudian memeperkenalkan dirinya dengan nama Fuadi.
Saya mengamati sekeliling ruangan. Terdapat banyak foto-foto wisatawan dengan latar belakang Pyramid dan Sphinx yang ditempel di dinding. Melihat kondisi ruangan yang sepertinya jadi-jadian, saya yakin foto tersebut hanyalah foto yang diambil dari Google lalu diprint. Fuadi kemudian mengambil sebuah papan kayu yang cukup besar. Di papan itu terdapat tempelan kayu berbentuk 9 piramida, Sphinx, unta, serta kuda. Gambar tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang digambar oleh Abdalah di secarik kertas saya. Penjelasan yang diberikan juga sama: tourist way atau Egyptian way, bayar mahal atau murah, jalan kaki 16 kilometer atau naik unta, dan sebagainya. Lagi-lagi saya tidak mendapatkan jawaban yang pasti saat menanyakan tentang biaya yang dibutuhkan.
Sejak datang Abdalah sibuk memakan makanan ringan yang ada di depannya, sementara saya semakin gusar dan panik. Rasanya saya ingin berlari secepatnya, namun lagi-lagi bayangan mengenai scene-scene TV series kembali muncul. Bagaimana jika saya dicegat saat ingin melarikan diri? Bagaimana jika saya dikejar dengan kendaraan bermotor saat berlari? Terlalu mengerikan jika dibayangkan. Saya mencoba tenang dan berharap hal-hal yang aneh tidak akan terjadi, walaupun harapan tersebut semakin menipis seiring dengan berjalannya waktu.
Fuadi melanjutkan penjelasannya. Namun saya selalu berusaha memotong ucapannya untuk menanyakan berapa biaya yang dibutuhkan. Fuadi dan Abdalah mengatakan bahwa saya diam dulu sambil mendengarkan penjelasan darinya dan besarnya biaya akan dijelaskan di akhir. Ketiga kalinya saya bertanya, Fuadi semakin terlihat tidak sabar dengan pertanyaan saya. Akhirnya dia menanyakan berapa uang yang saya bawa. Pada saat itu saya merasa sangat beruntung dengan keputusan saya memisahkan 300 EGP dari dompet. Yang ada di pikiran saya, apabila dompet saya dirampas, mereka hanya bisa mengambil sekitar 100 EGP. "Sebelumnya saya sudah mencari informasi mengenai biaya masuk Pyramid. Tertulis harga tiket sebesar 80 EGP. Sehingga saya hanya membawa 100 EGP ke sini," begitu kata saya. Fuadi dan Abdalah terdiam dengan raut muka sedikit kecewa terlihat dari wajahnya. Kemudian dia menanyakan minuman apa yang saya inginkan. Dia menawarkan teh atau kopi.
Saya tahu bahwa suuzon (prasangka buruk) itu tidak baik. Namun dalam kondisi seperti ini, tidak ada satu hal pun yang dapat membuat saya berprasangka positif. Bagaimana kalau minuman saya diberikan zat-zat asing? Karenanya, saya meminta air mineral saja. Mendengar jawaban saya, Fuadi kebingungan dan memaksa saya untuk memilih diantara teh atau kopi. Saya berbohong dan mengatakan bahwa saya memiliki alergi dengan keduanya sehingga hanya bisa minum air mineral. Fuadi mengerti dan menyuruh seseorang membawakan air mineral.
Pada saat ini kegusaran saya memuncak dan saya memutuskan untuk berdiri. Saya berjalan mendekat ke pintu sambil melihat kondisi di luar. Tidak ada orang lain selain tiga orang yang saya lihat di awal. Saat itu juga Fuadi dan Abdalah meminta saya untuk kembali duduk dan mendengarkan penjelasan. Saya tidak mau duduk dan tetap berdiri di dekat pintu. Fuadi mengatakan bahwa setidaknya saya duduk dulu sambil menunggu air mineral datang. Masih dalam kondisi berdiri di depan pintu, kepanikan saya memuncak.
Saat baru mulai berlari, salah satu orang di kursi berteriak "GO! GO!" Saya yang sangat panik mengartikan hal tersebut sebagai perintah untuk orang yang berada di dalam mobil untuk mengejar saya. Beruntungnya, mobil tersebut menghadap ke arah yang berlawanan dengan arah lari saya dan terlalu sulit bagi mobil tersebut untuk memutar balik di jalan yang tidak lebar itu.
Saya terus berlari sekuat tenaga, secepat mungkin, fokus ke depan tanpa menengok ke belakang. Waktu itu yang ada di pikiran saya adalah saya berlari seperti anak kecil di film Slumdog Millionaire yang berlari sangat cepat dalam rangka melarikan diri agar matanya tidak dicongkel dengan sendok panas.
Begitu keluar dari daerah pemukiman, saya melihat jalan besar dimana banyak microbus melintas. Jalan besar di depan saya adalah satu arah, yakni ke kanan. Kemudian saya ingat gerbang yang ditunjuk oleh Abdalah sebagai gerbang "tourist way". Dengan insting saya, untuk mencapai sana saya harus naik microbus yang ke arah kiri. Sialnya, jalan yang arahnya ke kiri berada di seberang sana, dimana terdapat parit besar antara keduanya. Berarti saya harus mencari cara untuk menyebrangi parit besar ini.
Saya kembali berlari secepat mungkin untuk mencari cara menyebrangi parit ini. Setelah berlari cukup jauh, ada tempat putaran jalan sehingga saya bisa menyebrang di sana. Saya kemudian memberhentikan sebuah microbus. Saya menengok ke belakang untuk memastikan bahwa tidak ada yang berlari mengejar. Mungkin mereka malas mengejar karena mendengar saya hanya punya 100 EGP.
Saat naik microbus, saya duduk di sebelah 3 orang anak muda. Karena sedang panik, saya memulai pembicaraan dengan mereka dan bertanya arah untuk ke Haram (Pyramid). Untungnya mereka mengerti. Saya diminta anak-anak itu untuk membayar 2.5 EGP sebagai ongkos. Setelah memberikan uang, saya memerhatikan penumpang lain dan ternyata mereka membayar kurang dari 1 EGP, padahal saya naik paling akhir dan turun pertama. Masih saja saya tertipu.
Kemudian anak muda tersebut meminta supir untuk berhenti dan menunjukkan arah jalan untuk menuju Pyramid. Saya diminta untuk belok kiri, sementara microbus berjalan lurus. Begitu turun dan mulai berlari lagi karena masih takut kalau ada yang mengejar, saya sadar seharusnya saya tidak turun disitu dan masih harus lurus lagi. Namun saya tidak mau berlari ke belakang karena takut apabila saya dikejar, berarti saya bisa tertangkap. Akhirnya saya memutuskan untuk terus berlari ke depan tanpa tau arah.
Saya berlari masuk ke pemukiman. Walaupun tidak tau jalan sama sekali, saya berasumsi apabila masuk ke pemukiman maka mereka lebih susah menemukan saya dibandingkan jika saya berlari menyusuri jalan besar. Karena terlalu lelah, saya memutuskan untuk beli minum terlebih dahulu. Saat itu saya melihat sebuah auto rickshaw (bajaj) yang penumpangnya terlihat seperti berkewarganegaraan Jepang. Saya berpikir bahwa untuk mencapai gerbang Pyramid dapat menggunakan bajaj.
Namun malang nasib saya ketika dua bajaj yang saya temui tidak mau mengantarkan saya ke Pyramid. Bajaj ketiga yang saya temui mau mengantarkan ke Pyramid, tapi dia mengatakan bahwa gerbang utama sangat jauh dan dia hanya bisa mengantarkan ke gerbang lain yang sama-sama official tapi lebih dekat. Karena kuota ditipu hari itu sudah melewati batasnya, saya pergi menjauh dari bajaj tersebut dan memutuskan untuk berjalan kaki saja.
Setelah sedikit tenang dan yakin tidak ada yang mengejar, saya berhenti berlari dan berjalan sambil membuka CityMaps2Go untuk mengetahui posisi saya. Dari situ juga saya mengikuti arahannya untuk berjalan kaki menuju gerbang utama. Beberapa waktu kemudian setelah berjalan jauh, saya tiba di gerbang utama. Terima kasih kepada Abdalah karena sempat menunjukkan gerbang utama Pyramid kepada saya.
Sesampainya disana, saya berada dalam kondisi kepayahan dan sangat lelah. Banyak warga lokal yang menghampiri untuk menawarkan berbagai jasa saya namun acuhkan karena fokus saya sekarang hanyalah ingin melihat Pyramid dari dekat dan pulang ke hostel secepatnya. Bahkan awalnya karena mood saya sudah berantakan, rasanya saya ingin naik taksi saja dan pulang ke hostel tanpa masuk ke Pyramid. Lagipula tadi saya sudah sempat melihat Pyramid dari luar. Namun pikiran tersebut saya tinggalkan. Sudah jauh-jauh dah mahal ke Cairo masa nggak masuk ke Pyramid?
Setelah meminta penjelasan di information center dan duduk sebentar untuk istirahat, saya melanjutkan berjalan ke atas untuk membeli tiket masuk. Sesuai petunjuk dari information center, pengunjung hanya perlu berjalan lurus dari bawah sampai atas dan harus mengacuhkan orang yang mengajak ngobrol karena sebagian besar dari mereka adalah scam.
Begitu sampai di loket pembelian, saya membayar 80 EGP untuk tiket masuk. Kemudian melewati pemeriksaan barang dan barulah saya dapat menikmati The Great Pyramid of Giza dari dekat dengan mata sendiri. Alhamdulillah…
p.s.: akhirnya jeruknya saya buang di hostel. Pengen dibawa pulang, tapi takut benyek dan membuat bagasi basah. Pengen dimasukin carry-on atau dikantongin tapi takut mendapatkan masalah di bandara saat security check.
Pengalaman ini merupakan yang terburuk dalam jalan-jalan saya 2,5 tahun terakhir. Belum pernah dalam liburan saya berada dalam kondisi seperti ini. Walaupun pengalaman buruk, alhamdulillah saya tidak kehilangan apapun saat itu. Post ini saya tulis sebagai salah satu kenangan yang bisa saya baca di masa mendatang dan menertawakan segala drama yang terjadi disini karena sifat saya yang polos dan mudah percaya ke orang asing. Sama halnya dengan waktu saya menulis post setelah kehilangan handphone. Waktu itu rasanya sedih banget, tapi sekarang jika dibaca lagi yang terlintas di pikiran adalah "bego banget sih Ky". Selain itu, saya sangat berharap orang yang membaca tulisan ini dapat belajar dari pengalaman saya sehingga dapat menghindari hal yang diceritakan.
Sebenarnya masih ada sedikit drama di dalam Pyramid yang penuh dengan scam serta sedikit drama pula saat saya ingin pulang ke hostel. Namun post ini sudah terlalu panjang jadi mungkin bisa diceritakan lain kali.
Moral of the story-nya adalah anggarkan budget lebih untuk mengunjungi Pyramid of Giza. Budget lebih disini bisa dalam bentuk transportasi ke dan dari Pyramid atau dalam bentuk mengikuti day tour ke Pyramid. Walaupun mahal, tapi kemungkinan mengalami hal seperti ini akan sangat kecil. Saya tidak mengatakan moral of the story-nya adalah jangan bicara dengan orang asing atau warga lokal, karena memang waktu itu saya sedang kurang beruntung saja. Berbicara dengan strangers itu menyenangkan, apalagi ketika sudah saling bercerita detil mengenai diri sendiri dan pengalaman pribadi.
Bye bye, Pyramid of Giza and Sphinx!
You are so magnificently beautiful, but all these dramas that occurred to me in the past make me think twice to pay you a visit again in the near future.
Di sana saya diminta meletakkan tas di mesin x-ray. Berbeda dengan pemeriksaan di bandara, disini tidak begitu ketat karena pengunjung tidak perlu mengeluarkan handphone dan dompet. Setelah meletakkan tas, saya bergerak melewati pemindai. Karena ada handphone, dompet, dan belt, tentu saja pemindai tersebut berbunyi dan saya diminta merentangkan tangan untuk pemeriksaan tubuh.
Seperti biasa, petugas memegang kantong depan dan belakang karena pada umumnya disitulah tempat orang-orang mengantongi handphone dan dompet. Namun saat itu dia meminta saya mengeluarkan benda yang berada di kantong depan sebelah kiri jaket saya. Saya meraba ada apa disitu, karena jujur saya juga lupa.
"Why do you bring this?" katanya sambil melihat sebuah jeruk yang saya keluarkan dari kantong.
"Someone gave it to me earlier," jawab saya.
Ngapain dibawa-bawa?
Sambil saya mengambil tas dan bergegas keluar ruangan, petugas tersebut berbicara dalam bahasa Arab ke petugas yang lain. Tidak lama kemudian mereka berdua tertawa. Kalau boleh menebak, mungkin yang petugas tersebut katakan ke temannya adalah, "Ngapain ini bocah bawa jeruk ke sini?!".
Bener juga. Ngapain ya saya bawa jeruk ke Pyramid?
* * *
Pukul 09.00 saya selesai memakan sarapan berupa empat buah roti dengan mentega dan selai strawberry, sebuah telur rebus, dan teh susu hangat yang disediakan oleh Meramees Hostel secara cuma-cuma, saya pergi meninggalkan hostel untuk melaksanakan tujuan utama saya datang ke Mesir: melihat Pyramid di Giza.
Untuk mencapai Pyramid dari downtown Cairo, ada beberapa cara yang dapat dilakukan. Cara termudah namun paling mahal adalah menggunakan taksi atau mobil yang ditawarkan oleh penginapan. Saat saya berkata ke Muhammad (nama penjaga hostel) bahwa saya ingin ke Pyramid, dia menawarkan jasa dengan mobil. Begitu mendengar harganya yang sebesar 120 EGP (sekitar Rp 220.000) untuk pergi-pulang, saya menolak dengan halus. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil pencarian saya sebelumnya, untuk mencapai Pyramid dapat menggunakan bis umum AC yang sekali jalan harganya hanya 2 EGP (~ Rp 3.600).
Untuk naik bis tersebut, saya harus menuju terminal yang berada di bawah jembatan besar di belakang Egyptian Museum. Saya berjalan kaki selama 15 menit menuju terminal tersebut sambil menggunakan winter coat dan sesekali menunduk sambil menyipitkan mata karena banyaknya debu yang berterbangan. Memang saya datang saat Cairo mengalami musim dingin, namun menurut petugas hostel hari itu terjadi anomali karena tidak biasanya Cairo sedingin ini dan debu banyak berterbangan.
Terminal bis downtown Cairo
Sesampainya di terminal, saya mencari-cari bis yang bernomor 355 atau 357 karena kedua bis itulah yang dapat digunakan untuk mencapai Pyramid berdasarkan blog berikut. Sayangnya saat itu tidak ada bis 355 atau 357 yang sedang menunggu penumpang. Kemudian saya duduk menunggu di salah satu kursi di terminal yang terbuka tersebut.
Sudah 15 menit saya menunggu, namun bis tersebut tidak kunjung datang. Sambil menunggu, saya mengingat-ingat isi blog yang saya baca tersebut dan disana tertulis pilihan lain untuk menuju Pyramid adalah dengan menggunakan microbus dari terminal yang sama. Microbus di Cairo kurang lebih sama seperti angkot di Indonesia. Bedanya di Cairo mobilnya seperti VW Combi dan kursinya semua menghadap ke depan, bukan saling berhadapan antarpenumpang seperti di Indonesia. Begitu saya mencoba mendatangi tempat parkir microbus, saya langsung mengurungkan niat karena tidak ada satupun microbus yang mencantumkan rute. Melihat perawakan semua supirnya yang serius dan terkesan galak, saya takut bertanya dan akhirnya memutuskan untuk kembali duduk menunggu bis 355 atau 357.
Suasana di terminal bis
Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul 09.45 dan bis tidak kunjung datang. Saya mulai cemas dan memberanikan diri untuk mencari orang yang terlihat ramah agar bisa bertanya. Nihil. Orang-orang yang saya lihat mukanya sangat serius sehingga terkesan dingin dan galak. Namun saya yang sudah tidak sabar ini akhirnya memberanikan diri bertanya ke seorang Bapak yang sudah cukup berumur. "Excuse me, do you know which bus to Pyramid, The Haram?" tanya saya sambil membentuk segitiga dengan kedua tangan. Dari blog tersebut juga saya tau bahwa warga lokal tidak semuanya mengerti Pyramid. Mereka biasa menyebut Pyramid dengan istilah Haram.
Seperti gayung bersambut, Bapak tersebut mengerti pertanyaan saya dan mempersilahkan saya duduk di sebelah kanannya karena dia juga akan menuju Pyramid. Karena sadar sulit berkomunikasi, kami berdua duduk diam sambil menunggu bis datang. Tidak lama setelah duduk, ada Bapak lain yang datang menghampiri saya. Sepertinya umur Beliau sedikit lebih muda dari Bapak sebelumnya. Beliau duduk di sebelah kanan saya dan kemudian memulai pembicaraan. (
"Mau ke Pyramid?"
"Iya, Pak."
"Wah kebetulan, saya juga mau ke arah sana karena rumah saya di daerah Giza. Bareng saya aja ya."
Mendengar Bapak itu, saya sangat senang karena dibantu oleh penduduk lokal. Dengan demikian saya berharap bisa sampai di Pyramid secepatnya tanpa nyasar karena akan dipandu oleh Bapak itu. Kemudian kami berdua mulai mengobrol berbasa-basi sambil menunggu bis 355 atau 357. Karena sibuk ngobrol, saya melihat Bapak yang pertama saya tanya sudah berpindah kursi dan agak menjauh. Namun saya membiarkannya, mungkin dia merasa bahwa saya sudah mendapat teman ngobrol dan memutuskan untuk menjauh daripada pusing mendengarkan kami mengobrol.
Setelah berbasa-basi, dia kemudian mengenalkan dirinya sebagai Mr. Abdalah. Berdasarkan ceritanya, dia bekerja sebagai security di Stasiun Ramses. Dia menjelaskan bahwa dia baru menyelesaikan shift kerjanya, sehingga akan pulang ke daerah Giza untuk beristirahat. Setelah itu dia mulai menjelaskan tentang seluk-beluk serta tips untuk mengunjungi Pyramid.
Dia meminta kertas untuk memberikan penjelasan kepada saya mengenai banyak hal yang berhubungan deh Pyramid. Hal pertama yang dia tuliskan adalah nomor bis yang dapat digunakan untuk menuju Pyramid dan untuk kembali ke downtown Cairo. Selanjutnya dia menjelaskan tentang cara mengunjungi Pyramid.
Kertas coretan penjelasan Abdalah
Berdasarkan penjelasan awalnya, terdapat dua cara untuk mengunjungi Pyramid. Cara pertama adalah "tourist way", dimana pengunjung akan mengelilingi kompleks Pyramid yang terdapat 9 piramida yang jarak totalnya 16 km dengan berjalan kaki. Selain itu pengunjung juga akan diminta untuk membayar berkali-kali untuk melihat masing-masing Pyramid. Cara "tourist way" ini dapat menghabiskan uang 800 hingga 900 EGP. Penjelasannya masuk akal, karena berdasarkan pencarian saya sebelumnya, harga tiket masuk area Pyramid adalah 80 EGP. Sementara itu, untuk masuk ke Khufu Pyramid yang merupakan piramida terbesar disana harus menambah 200 EGP. Saya sendiri tidak melakukan riset mendalam untuk mencari tahu apakah ada biaya lagi untuk masuk ke piramida lainnya. Dan jalan kaki sejauh 16 kilometer nampaknya akan sangat melelahkan.
Cara kedua yang mana sangat dianjurkan oleh Abdalah adalah "Egyptian way". Dengan "Egyptian way", pengunjung dapat berkeliling di area Pyramid menggunakan kuda atau unta dan tidak perlu membayar banyak hal tambahan. What a bargain! Ketika saya tanya berapa biaya yang dibutuhkan, Abdalah berkata, "It's cheaper than tourist way".
Udara Cairo yang dingin ditambah angin yang berhembus kencang membawa debu membuat Abdalah dan saya kedinginan. Tiba-tiba Abdalah berdiri dan bergegas menuju sebuah bis yang sedang menunggu penumpang. "Follow me, we'll take this bus!". Saya yang tidak tahu apa-apa cuma bisa mengikutinya saja dengan pasrah. Yang pasti, bis yang saya naiki bukan bis 355 ataupun 357. Bis ini tidak ber-AC dan cukup kotor. "Udara di luar dingin, jadi kita naik bis ini dulu aja untuk menghangatkan badan. Kamu tenang saja, saya juga pulang ke arah Giza. Jadi kita searah," begitu penjelasan Abdalah kepada saya yang cukup menenangkan.
Kondisi bis
Tidak lama menunggu, bis kemudian berjalan dengan hanya kami sebagai penumpang. Ketika kondektur menghampiri untuk meminta bayaran, saya bertanya berapa harganya. Namun Abdalah berkata bahwa dia akan membayarkan ongkos kami berdua. "Biar saya yang bayarkan kamu. Sekarang kamu sedang di Mesir, jadi biar kamu merasakan kebaikan warga sini. Nanti kalau saya main ke Jakarta, kamu yang gantian bayarin saya." Begitu kata Abdalah. Lumayan bagi saya karena tidak perlu mengeluarkan 1 EGP untuk bayar bis.
Pemandangan Sungai Nil dari kaca bis yang kotor
Bis berjalan melewati jembatan yang berada di atas sungai Nil. Seperti biasa, saya mengeluarkan iPhone untuk memotret sungai Nil. Begitu Abdalah melihat saya memotret, dia kembali mengajak berbincang.
"Bagus ya hp kamu. Buatan Jepang ya?"Saya tidak mengatakan harga sebenarnya karena perasaan saya sedikit tidak enak karena Abdalah menanyakan masalah handphone. Karena itu, saya memasukkan iPhone ke kantong jaket dan berharap saya tidak kehilangan handphone untuk yang kedua kalinya. Cukup sekali saya kehilangan handphone karena kebodohan diri sendiri.
"Enggak, Pak. Ini buatan Amerika."
"Oh gitu. Waktu itu beli hp ini berapa harganya?"
"Sekitar 200 dollar."
Di perjalanan, kami berbincang mengenai banyak hal. Mulai dari negara masing-masing, pekerjaan, Pyramid, ibadah haji dan umroh (yang mana Abdalah mengatakan sudah melaksanakan ibadah haji sebanyak 3 kali), bahkan tentang keluarga. Abdalah mengeluarkan beberapa foto dari dompetnya untuk menujukkan foto anak-anak dan istrinya. Abdalah memiliki 6 orang anak yang semuanya perempuan.
Abdalah kembali berkata bahwa yang dia lakukan—menemani saya hingga Pyramid—adalah upaya untuk menunjukkan keramahan warga Mesir. Karena itu, Beliau mengatakan akan menjamu saya makan siang setelah saya berkeliling Pyramid. "Setibanya kamu di Pyramid, teman saya akan membawa kamu berkeliling Pyramid dengan 'Egyptian way'. Selesai berkeliling, saya akan menunggu kamu di gerbang dan kemudian saya akan menjamu kamu dengan makanan lokal Mesir di restoran terdekat," begitu katanya. Di satu sisi saya sangat senang karena akan mendapatkan makan siang gratis. Namun batin dan akal saya menolak apabila seseorang yang asing berlaku begitu baiknya. Yang ada di dalam pikiran saya waktu itu adalah saya akan melakukan "Egyptian way", lalu setelah selesai saya akan bergegas keluar dari gerbang lain yang berbeda dengan gerbang saat masuk dan berharap tidak ada Abdalah disana.
Tiket bis seharga 1 EGP
Ajakan Abdalah tersebut tentu membuat saya sedikit was-was dengannya. Setelah naik bis, kami turun di sebuah daerah dan Abdalah kembali memerintakan saya untuk berjalan di dekatnya. Ternyata kami mengganti kendaraan menjadi minibus—kalau di Indonesia seperti Kopaja atau Metro Mini. Saya sama sekali tidak tahu posisi saya saat itu. Ditambah saya tidak berani mengeluarkan handphone lagi karena Abdalah sempat menanyakan handphone saya.
Dua hal tersebut cukup membuat saya gusar hingga akhirnya saya memutuskan untuk diam-diam mengeluarkan uang dari dompet dan menyelipkannya di jaket. Saat kami masuk ke minibus, Abdalah menyuruh saya untuk duduk terlebih dahulu sementara dia kembali membayarkan ongkos minibus. Alhamdulillah saya tidak perlu mengeluarkan uang lagi. Di saat dia membayar uang di depan, saya duduk di pojok barisan paling belakang. Dengan cepat saya mengeluarkan 300 EGP dari dompet dan meletakkannya di dalam kantong jaket, sehingga sekarang uang saya di dompet tinggal sekitar 100 EGP. Kemudian Abdalah datang ke barisan belakang dan duduk di samping saya. Kami kembali mengobrol. Topiknya kurang lebih sama dengan yang sebelumnya.
Abdalah kembali mengajak saya turun untuk mengganti dengan kendaraan lain. Kali ini kami naik microbus. Kami kembali berbincang dan sekarang giliran saya bercerita. Saya mengatakan pada Abdalah bahwa saya jarang mendapatkan teman atau berbicara dengan warga lokal saat jalan-jalan. Sehingga saya senang bisa banyak berbicara dengan Abdalah. Abdalah kembali berkata bahwa dia hanya menunjukkan keramahan warga Mesir. Apabila di waktu mendatang dia datang ke Indonesia, dia berharap saya dapat menemaninya berkeliling.
Di dalam microbus. Abdalah di sebelah kanan.
Di saat saya bercerita, tiba-tiba saya berhenti dan terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata, "Wow, it's Pyramid!" Untuk pertama kalinya saya melihat Pyramid secara langsung dengan mata sendiri! Pyramid yang saya lihat berukuran raksasa!
Namun Abdalah kembali mengajak saya turun dan berganti microbus. Menurut penjelasannya, kami akan turun di gerbang Pyramid terdekat untuk berkeliling dengan "Egyptian way". Microbus melaju, dan di sebuah belokan Abdalah berkata, "Ini gerbang masuk turis-turis pada umumnya. Kalau masuk lewat sini, kamu harus siap bayar mahal!" katanya sambil menunjuk ke suatu tempat. Saya kembali menanyakan biaya yang dibutuhkan untuk "Egyptian way". Abdalah tetap tidak menyebutkan harga yang pasti.
Tibalah kami di sebuah daerah dimana Pyramid yang berukuran raksasa tidak lagi terlihat. Rasa panik mulai tumbuh di dalam diri saya. Namun tidak banyak yang bisa saya lakukan karena saya sama sekali tidak tahu sedang berada dimana. Apabila saya harus melarikan diri dari Abdalah, saya tidak tahu harus berlari kemana. Sehingga saya memutuskan untuk tetap bersamanya dan berharap Abdalah tidak memiliki niat jahat.
Kami berjalan masuk ke daerah pemukiman. Di tengah jalan terjadi badai pasir yang cukup besar sehingga kami berdua sama sekali tidak bisa melihat jalan di depan. Kami berpapasan dengan sebuah mobil, lalu Abdalah berbicara dengan pengendaranya. Abdalah kemudian menjelaskan bahwa gerbang masuknya sedang ditutup karena badai pasir. Sehingga kami harus berjalan mencari jalan lain.
Di perjalanan, terdapat mobil pick-up yang menjual jeruk segar yang baru dipetik. Abdalah mengambil dua jeruk dan membayarnya. Dia membuka satu jeruk untuk dirinya sendiri, sementara jeruk lainnya diberikan kepada saya. Saya menyimpan jeruk tersebut di kantong depan sebelah kiri jaket saya. Kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Tidak lama kemudian kami kembali masuk ke kawasan pemukiman dan sebelum akhirnya kami berbelok ke kiri dan sampai di jalan buntu. Pada saat itu saya yakin sesuatu yang buruk akan terjadi kepada saya.
Perkiraan lokasi kejadian dan daerah sekitarnya
Di sisi kiri jalan tersebut ada sebuah mobil yang di dalamnya terdapat seorang pria di kursi pengemudi. Sementara itu di sisi kanan jalan tidak jauh dari mobil terdapat kursi panjang dimana ada dua orang pria yang sedang duduk disana. Kemudian di seberang kursi tersebut ada pintu yang terbuka dan di sisinya ada plang bertulisan KH dengan gambar piramida dan unta. Abdalah memanggil sesorang dan kemudian muncul seorang pria yang sepertinya umurnya tidak jauh beda dengan Abdalah.
"Ahlan wa sahlan," kata pria tersebut.Ini kesempatan saya untuk mempraktikkan yang sewaktu itu diajarkan di TPA: percakapan standar dalam bahasa Arab. Apabila seseorang berkata "ahlan wa sahlan", kita harus menjawab "ahlan bik" lalu bertanya balik "khalifa khalu?" Dan di jawab "ana bil khairi, syukran." (Disclaimer: semua kalimat Arab barusan dituliskan sesuka hati dan seingatnya saja. Mohon maaf jika artinya menyimpang jauh). Daripada dikira sok akrab, saya hanya membalas dengan ucapan syukran sambil tersenyum simpul.
Perasaan panik saya semakin menjadi-jadi ketika saya dipersilahkan untuk masuk ke sebuah ruangan. Suka menonton TV series semacam Homeland semakin membuat saya berfikir yang aneh-aneh mengenai apa yang dapat terjadi kepada saya. Saya tidak perlu melepaskan sepatu saat masuk ke ruangan yang cenderung sempit, pengap, dan gelap tersebut. Kemudian saya dipersilakan duduk di kursi kayu. Di dalam ruangan hanya ada kami bertiga: saya, Abdalah, dan pemilik ruangan tersebut yang kemudian memeperkenalkan dirinya dengan nama Fuadi.
Saya mengamati sekeliling ruangan. Terdapat banyak foto-foto wisatawan dengan latar belakang Pyramid dan Sphinx yang ditempel di dinding. Melihat kondisi ruangan yang sepertinya jadi-jadian, saya yakin foto tersebut hanyalah foto yang diambil dari Google lalu diprint. Fuadi kemudian mengambil sebuah papan kayu yang cukup besar. Di papan itu terdapat tempelan kayu berbentuk 9 piramida, Sphinx, unta, serta kuda. Gambar tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang digambar oleh Abdalah di secarik kertas saya. Penjelasan yang diberikan juga sama: tourist way atau Egyptian way, bayar mahal atau murah, jalan kaki 16 kilometer atau naik unta, dan sebagainya. Lagi-lagi saya tidak mendapatkan jawaban yang pasti saat menanyakan tentang biaya yang dibutuhkan.
Sejak datang Abdalah sibuk memakan makanan ringan yang ada di depannya, sementara saya semakin gusar dan panik. Rasanya saya ingin berlari secepatnya, namun lagi-lagi bayangan mengenai scene-scene TV series kembali muncul. Bagaimana jika saya dicegat saat ingin melarikan diri? Bagaimana jika saya dikejar dengan kendaraan bermotor saat berlari? Terlalu mengerikan jika dibayangkan. Saya mencoba tenang dan berharap hal-hal yang aneh tidak akan terjadi, walaupun harapan tersebut semakin menipis seiring dengan berjalannya waktu.
Fuadi melanjutkan penjelasannya. Namun saya selalu berusaha memotong ucapannya untuk menanyakan berapa biaya yang dibutuhkan. Fuadi dan Abdalah mengatakan bahwa saya diam dulu sambil mendengarkan penjelasan darinya dan besarnya biaya akan dijelaskan di akhir. Ketiga kalinya saya bertanya, Fuadi semakin terlihat tidak sabar dengan pertanyaan saya. Akhirnya dia menanyakan berapa uang yang saya bawa. Pada saat itu saya merasa sangat beruntung dengan keputusan saya memisahkan 300 EGP dari dompet. Yang ada di pikiran saya, apabila dompet saya dirampas, mereka hanya bisa mengambil sekitar 100 EGP. "Sebelumnya saya sudah mencari informasi mengenai biaya masuk Pyramid. Tertulis harga tiket sebesar 80 EGP. Sehingga saya hanya membawa 100 EGP ke sini," begitu kata saya. Fuadi dan Abdalah terdiam dengan raut muka sedikit kecewa terlihat dari wajahnya. Kemudian dia menanyakan minuman apa yang saya inginkan. Dia menawarkan teh atau kopi.
Saya tahu bahwa suuzon (prasangka buruk) itu tidak baik. Namun dalam kondisi seperti ini, tidak ada satu hal pun yang dapat membuat saya berprasangka positif. Bagaimana kalau minuman saya diberikan zat-zat asing? Karenanya, saya meminta air mineral saja. Mendengar jawaban saya, Fuadi kebingungan dan memaksa saya untuk memilih diantara teh atau kopi. Saya berbohong dan mengatakan bahwa saya memiliki alergi dengan keduanya sehingga hanya bisa minum air mineral. Fuadi mengerti dan menyuruh seseorang membawakan air mineral.
Pada saat ini kegusaran saya memuncak dan saya memutuskan untuk berdiri. Saya berjalan mendekat ke pintu sambil melihat kondisi di luar. Tidak ada orang lain selain tiga orang yang saya lihat di awal. Saat itu juga Fuadi dan Abdalah meminta saya untuk kembali duduk dan mendengarkan penjelasan. Saya tidak mau duduk dan tetap berdiri di dekat pintu. Fuadi mengatakan bahwa setidaknya saya duduk dulu sambil menunggu air mineral datang. Masih dalam kondisi berdiri di depan pintu, kepanikan saya memuncak.
"Berapa biaya yang saya butuhkan untuk ini? Saya telah mencari info sebelumnya dan tertulis saya hanya membutuhkan 80 EGP untuk masuk ke kawasan Pyramid. Tentu saja saya ingin masuk ke semua piramida yang ada dan mencoba naik unta. Tapi kalau itu semua terlalu mahal, saya sudah puas dengan masuk ke kawasan Pyramid karena tujuan awal saya memang melihat Pyramid saja," begitu kalimat yang saya ucapkan dengan agak gemetar karena panik yang berlebihan.Karena sudah tidak tahan lagi, saya bersiap untuk berlari ke luar. Terakhir, saya mengatakan "Maaf saya tidak punya uang yang banyak sehingga sepertinya saya tidak mampu membayar ini semua. Abdalah, terima kasih karena telah membayari semua tranportasi saya kesini," sebelum akhirnya keluar dan berlari secepat mungkin, sekuat tenaga.
"Ayo sini kamu duduk dulu, dengarkan penjelasan saya hingga selesai," kata Fuadi.
Saat baru mulai berlari, salah satu orang di kursi berteriak "GO! GO!" Saya yang sangat panik mengartikan hal tersebut sebagai perintah untuk orang yang berada di dalam mobil untuk mengejar saya. Beruntungnya, mobil tersebut menghadap ke arah yang berlawanan dengan arah lari saya dan terlalu sulit bagi mobil tersebut untuk memutar balik di jalan yang tidak lebar itu.
Saya terus berlari sekuat tenaga, secepat mungkin, fokus ke depan tanpa menengok ke belakang. Waktu itu yang ada di pikiran saya adalah saya berlari seperti anak kecil di film Slumdog Millionaire yang berlari sangat cepat dalam rangka melarikan diri agar matanya tidak dicongkel dengan sendok panas.
Begitu keluar dari daerah pemukiman, saya melihat jalan besar dimana banyak microbus melintas. Jalan besar di depan saya adalah satu arah, yakni ke kanan. Kemudian saya ingat gerbang yang ditunjuk oleh Abdalah sebagai gerbang "tourist way". Dengan insting saya, untuk mencapai sana saya harus naik microbus yang ke arah kiri. Sialnya, jalan yang arahnya ke kiri berada di seberang sana, dimana terdapat parit besar antara keduanya. Berarti saya harus mencari cara untuk menyebrangi parit besar ini.
Saya kembali berlari secepat mungkin untuk mencari cara menyebrangi parit ini. Setelah berlari cukup jauh, ada tempat putaran jalan sehingga saya bisa menyebrang di sana. Saya kemudian memberhentikan sebuah microbus. Saya menengok ke belakang untuk memastikan bahwa tidak ada yang berlari mengejar. Mungkin mereka malas mengejar karena mendengar saya hanya punya 100 EGP.
Perkiraan lokasi tempat menyebrang parit
Saat naik microbus, saya duduk di sebelah 3 orang anak muda. Karena sedang panik, saya memulai pembicaraan dengan mereka dan bertanya arah untuk ke Haram (Pyramid). Untungnya mereka mengerti. Saya diminta anak-anak itu untuk membayar 2.5 EGP sebagai ongkos. Setelah memberikan uang, saya memerhatikan penumpang lain dan ternyata mereka membayar kurang dari 1 EGP, padahal saya naik paling akhir dan turun pertama. Masih saja saya tertipu.
Kemudian anak muda tersebut meminta supir untuk berhenti dan menunjukkan arah jalan untuk menuju Pyramid. Saya diminta untuk belok kiri, sementara microbus berjalan lurus. Begitu turun dan mulai berlari lagi karena masih takut kalau ada yang mengejar, saya sadar seharusnya saya tidak turun disitu dan masih harus lurus lagi. Namun saya tidak mau berlari ke belakang karena takut apabila saya dikejar, berarti saya bisa tertangkap. Akhirnya saya memutuskan untuk terus berlari ke depan tanpa tau arah.
Saya berlari masuk ke pemukiman. Walaupun tidak tau jalan sama sekali, saya berasumsi apabila masuk ke pemukiman maka mereka lebih susah menemukan saya dibandingkan jika saya berlari menyusuri jalan besar. Karena terlalu lelah, saya memutuskan untuk beli minum terlebih dahulu. Saat itu saya melihat sebuah auto rickshaw (bajaj) yang penumpangnya terlihat seperti berkewarganegaraan Jepang. Saya berpikir bahwa untuk mencapai gerbang Pyramid dapat menggunakan bajaj.
Namun malang nasib saya ketika dua bajaj yang saya temui tidak mau mengantarkan saya ke Pyramid. Bajaj ketiga yang saya temui mau mengantarkan ke Pyramid, tapi dia mengatakan bahwa gerbang utama sangat jauh dan dia hanya bisa mengantarkan ke gerbang lain yang sama-sama official tapi lebih dekat. Karena kuota ditipu hari itu sudah melewati batasnya, saya pergi menjauh dari bajaj tersebut dan memutuskan untuk berjalan kaki saja.
Setelah sedikit tenang dan yakin tidak ada yang mengejar, saya berhenti berlari dan berjalan sambil membuka CityMaps2Go untuk mengetahui posisi saya. Dari situ juga saya mengikuti arahannya untuk berjalan kaki menuju gerbang utama. Beberapa waktu kemudian setelah berjalan jauh, saya tiba di gerbang utama. Terima kasih kepada Abdalah karena sempat menunjukkan gerbang utama Pyramid kepada saya.
Kurang lebih begini rute saya. Bedanya, jalan di perkampungan itu jelas saya muter-muter karena tidak tahu arah
Sesampainya disana, saya berada dalam kondisi kepayahan dan sangat lelah. Banyak warga lokal yang menghampiri untuk menawarkan berbagai jasa saya namun acuhkan karena fokus saya sekarang hanyalah ingin melihat Pyramid dari dekat dan pulang ke hostel secepatnya. Bahkan awalnya karena mood saya sudah berantakan, rasanya saya ingin naik taksi saja dan pulang ke hostel tanpa masuk ke Pyramid. Lagipula tadi saya sudah sempat melihat Pyramid dari luar. Namun pikiran tersebut saya tinggalkan. Sudah jauh-jauh dah mahal ke Cairo masa nggak masuk ke Pyramid?
Setelah meminta penjelasan di information center dan duduk sebentar untuk istirahat, saya melanjutkan berjalan ke atas untuk membeli tiket masuk. Sesuai petunjuk dari information center, pengunjung hanya perlu berjalan lurus dari bawah sampai atas dan harus mengacuhkan orang yang mengajak ngobrol karena sebagian besar dari mereka adalah scam.
Begitu sampai di loket pembelian, saya membayar 80 EGP untuk tiket masuk. Kemudian melewati pemeriksaan barang dan barulah saya dapat menikmati The Great Pyramid of Giza dari dekat dengan mata sendiri. Alhamdulillah…
The Great Pyramid of Giza, finally!
* * *
Pengalaman ini merupakan yang terburuk dalam jalan-jalan saya 2,5 tahun terakhir. Belum pernah dalam liburan saya berada dalam kondisi seperti ini. Walaupun pengalaman buruk, alhamdulillah saya tidak kehilangan apapun saat itu. Post ini saya tulis sebagai salah satu kenangan yang bisa saya baca di masa mendatang dan menertawakan segala drama yang terjadi disini karena sifat saya yang polos dan mudah percaya ke orang asing. Sama halnya dengan waktu saya menulis post setelah kehilangan handphone. Waktu itu rasanya sedih banget, tapi sekarang jika dibaca lagi yang terlintas di pikiran adalah "bego banget sih Ky". Selain itu, saya sangat berharap orang yang membaca tulisan ini dapat belajar dari pengalaman saya sehingga dapat menghindari hal yang diceritakan.
Sebenarnya masih ada sedikit drama di dalam Pyramid yang penuh dengan scam serta sedikit drama pula saat saya ingin pulang ke hostel. Namun post ini sudah terlalu panjang jadi mungkin bisa diceritakan lain kali.
Moral of the story-nya adalah anggarkan budget lebih untuk mengunjungi Pyramid of Giza. Budget lebih disini bisa dalam bentuk transportasi ke dan dari Pyramid atau dalam bentuk mengikuti day tour ke Pyramid. Walaupun mahal, tapi kemungkinan mengalami hal seperti ini akan sangat kecil. Saya tidak mengatakan moral of the story-nya adalah jangan bicara dengan orang asing atau warga lokal, karena memang waktu itu saya sedang kurang beruntung saja. Berbicara dengan strangers itu menyenangkan, apalagi ketika sudah saling bercerita detil mengenai diri sendiri dan pengalaman pribadi.
Bye bye, Pyramid of Giza and Sphinx!
You are so magnificently beautiful, but all these dramas that occurred to me in the past make me think twice to pay you a visit again in the near future.
Yeah!
ANJIS KEREEEENNNN!
ReplyDeleteHahaha pengalamannya seru banget, emang di Mesir katanya banyak penipu ya.
Waaah ada kakak serious travel blogger Arievrahmaan!
DeleteIya di Cairo banyak scam juga, apalagi di Pyramid. Harus hati-hati dan jaga diri pokoknya.
Terima kasih kakak udah mampir kesini dan ninggalin komen :D
wahhh kereen nihh yaa :D
Deletewahhh kereeen nihh
Deletewahhh kereen dehh
DeleteMungkin bapak yg pertama itu yang pengen bantuin, dan bapak yg kedua emanx kagak bener. Tapi syukur udah bisa lolos dari jebakan gtu. Pengen banget nyobain gaya foto yg paling akhir.
ReplyDeleteKayaknya sih gitu, walaupun dia nggak lancar bahasa Inggris tapi keliatan baik mau bantu. Sementara Bapak yang kedua bahasa Inggrisnya mendingan tapi ujungnya malah saya dikerjain :( Iya syukur banget bisa keluar dari rumah itu, walaupun lari-lari bikin ngos-ngosan.
DeleteHehe, semoga bisa cepet foto dengan gaya terakhir itu ya Mas!
Tapi serem juga itu kejadian d mesir jadi inget novel ayat2 cinta. aamiin. makasih banyak atas doa'y Refky.
DeleteWah saya nggak baca novel Ayat-Ayat Cinta (dan nggak nonton filmnya). Emang ada apa di Mesir kalo dari novel itu?
Deletegak ada kayk nya Refky
Deletekereeennnn..... saya berencana ke mesir akhir tahun ini. pengalaman ini bikin saya merasa harus berhati-hati selama di sana. thanks for sharing. dan salam kenal. :)
ReplyDeleteoyaa maksudh saya keren adalah keren sudah melewati masa sulit (ditipu berkali-kali hihiihiii) tp semoga tidak terulang lagi yaa salam.
DeleteHalo Rambutkriwil (nggak tau nama aslinya…), salam kenal juga yaa :))
DeleteWah seru banget mau ke Mesir akhir tahun ini! Rencananya ke kota mana aja kalo boleh tau?
Beneeerr, di Mesir menurut saya (dan temen hostel) harus lebih awas diri biar semua berjalan dengan rencana dan tentram.
rambut kriwil wkwkwkwkkw , tanyain nama asli gan :p
Deletewaahh kereeen ya , makaish lhoo
DeleteWah udah mirip kayak scene di film-film yah >< untung saja ngga ada hal lebih buruk yang terjadi, dan tetap bisa lihat Pyramid dari dekat :D
ReplyDeletewahh kereeen , nihh
ReplyDeletewahhh kliataann
ReplyDeleteiyaa nih kereen bangettt
ReplyDeleteTernyata Mesir banyak scammer juga ya.. Syukur bisa lepas dari mereka ya. Keren photonya, jadi ke Piramida bawa2 kamera ya?
ReplyDeleteYep bawa-bawa kamera supaya puas foto-fotonya :))
DeleteWwuiihhhh keren bangat Gan
ReplyDeleteKapan Ya bisa jalan - jalan ke Mesir.
ReplyDeletejadi kepengen ngikutin jejaknya agan...
ReplyDeleteSekalipun Ceritanya panjang namun sangat bermanfaat... terlebih buat teman" yang ada rencana kesana
ReplyDeletePertulangan yang luar biasa....
ReplyDelete